Minggu, 22 Maret 2009

LiBuRAn aLA aDVo_QueEN ^0^v

Cuaca di Jogja hari-hari ini emang lagi ga asyik. Seharian panas banget, besoknya ujan deres. Yei, katanya lagi masuk musim pancaroba, kalo di eropa sono noh dibilangnya musim semi, cieh… maksudnya peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, gitu..
Nah, berhubung saia bukan pakar cuaca, so ga tau juga kalo hari ini bakal ujan seharian. Padahal udah dari sebulan yang lalu niat mau ngajak anak-anak advo dema jalan-jalan. Yo, ditambah hape yang matot (mati total) karena charger ilang (vidi, drive my charger, come on!), aq ke kampus sepagi mungkin, nyampe dema, sepi banget ya? Mau ngehubungi anak-anak, ga ada hape, mau ngenet, ga bawa laptop, duh, bener-bener deh ngrasain jadi kotek (korban teknologi).
Setelah bertapa sekian abad (lebay deh), satu per satu pasukan advo mulai berdatangan ke medan laga diiringi derai hujan yang semakin deras. Setelah mengadakan perundingan linggar bambu dengan perdebatan sengit, akhirnya disepakati medan laga yang akan qt tuju adalah pantai depok.
Sepanjang perjalanan, qt kebut-kebut an di jalan. Sampe pas lagi berhenti di sebuah perempatan, ada polisi boncengan motor berhenti di marka jalan, ngadep kendaraan dari arah Jogja, terus bilang, “kamu, yang motornya blombongan, berhenti ke kiri.” Langsung, kerasa deh siapa yang dimaksud.
So, tiga rombongan konvoi motor dengan enam pasukan itu menuju pos polisi*** yang berada tepat di seberang jalan. Tersangka, bernama ‘Fikri Iqbal’, status ‘mahasiswa fakultas hukum UGM semester 5 (are you sure???)’, alamat ‘jakarta’. Plat motor ‘B’. pelanggaran ‘knalpot blombongan di masa kampanye.’ lengkap sudah senyum kemenangan pak polisi itu. Setelah pemeriksaan yang cukup melelahkan (jadi ikut ngrasain perasaannya syekh puji_;p), dipaksakan satu kesepakatan, bahwa knalpot racing di motor tersangka harus diganti sekarang juga!
Sebagai advokat yang baik (?), aq hearing ma Doni, C,S.H (asisten q_hoho..) piye iki penake? Mau cari bengkel, koq yo’o minggu… akhirnya, sambil niat bercanda, doni bilang, “motor saia itu lebih berisik lho pak dari motor temen saia ini…” belom selesai dia ngomong, si polak (polisi galak)_bukan nama palsu_ langsung tersulut emosi, berdiri trus teriak (can I say so?), ya ngehardik lah, “mana motor kamu?! Bawa sini sekalian, biar saya tahan!” doenk? Si asisten advokat Cuma senyum paksa sambil bilang, “ya, motor saia di kostan, pak..” batin q, ni polak ga bisa di ajak bercanda ya????
Setelah berdiskusi dengan client yang juga magangers di kantor advokat arum, C, S.H and partners (hohoho…) akhirnya disepakati, tersangka akan mengambil knalpot asli motornya yang ada di rumah tersangka. Sambil nunggu client melaksanakan kewajibannya, arum, C, S.H and partners berunding di bawah pohon talok di pojokan pos polisi***. Dasar advokat elite ga kenal talok (duile…) akhirnya, asisten-asisten q yang gila talok itu jadi bolang (bocah petualang) deh… sambil dilirik ma polak-polak di posnya, mungkin mupeng n mbatin “enakan jadi bolang, dari pada jadi polak, ya?”
Singkat cerita, selesailah tragedy tidak berdarah di pos polisi*** itu. Rombongan bukan haji melanjutkan perjalanan menuju tanah tidak suci… (lho?) yak, sampe lah qt ke pantai ter komersil se Jogja itu. Busyet dah, kotor banget yak? Dari awal emang dah q bilang, ni pantai kotor banget, kejadian deh… Baru juga berapa abad (lebay!) qt duduk di tepi pantai… dan memandang… ombak di lautan yang kian menepi… (jadi nyanyi lagu jadul?) tiba-tiba, tanpa disangka-sangka… dan seketika itu juga… (jeng-jeng!)
Diawali dari fikri yang mau ke toilet, lah koq abi sama mandela malah nongkrong di pinggiran warung. Ye… ngerajuk! Jadi inget sepupu q yang masih balita (bawah lima puluh tahun!) kalo pengen es krim, manggil tukang es krimnya dulu baru manggil ibunya. Cape deh…
Singkat cerita lagi niy, dasar anak-anak hobi SMP (sudah makan, pulang), ya abis makan, pulang! Woalah… so, qt racing lagi di jalanan. Tak lupa ketika melewati pos polisi***, qt sapa polak-polak di sana. Eh, mereka masih inget… (ngefans kali ya? Hohoho…) sampe di tengah jalan ternyata ujan, tambah deres, ga henti-henti. Yo udah, sekalian aja ujan-ujan. Maklum, MKKBS (masa kecil kurang bahagia sejahtera…) sampe dema, udah basah semua, sekalian aja main ujan… sambil les motor kopling ma Doni, C,S.H. (woi, pengumuman, pengumuman!! Arum queen dah bisa muter agro komplek 2 x tanpa berhenti di tengah jalan dan berhasil finish dengan gigi netral! Hohoho… lulus dengan summa cumlaude niy…)
Nah, dasar emang weton q ga cocok kerja di air (kata ki Ian gendeng), jadi lah pulang ke rumah, cape, mandi, tidur, bangun tidur koq tenggorokanku sakit, badan panas, lemes… dilanjutkan dengan hidung berair… terbuktilah hipotesis bahwa aq pilek!!!
Yow, padahal ada janji mo bikin tugas malam ini di kampus. Mana hape q lagi di ICU, kebayang deh aq bakal menzalimi dek Agung, cak Rokib, n uda Rito… (maafkan saia… tidak ada pledoi, tapi meminta amnesti…)
Dan, malem ini malah jadi ga bisa tidur. Udah disogok pake milo anget, juga mata ga mau terpejam… kayanya gara-gara tidur tadi sore deh. Jadi lah sekarang, autis (minjem istilah intan, psiko_phat_log q terlaknat ^0^ v) dengan si putih sambil sentrap-sentrup… T_T
Dipo, 220309_22.24

Minggu, 15 Maret 2009

150309

Pagi itu masih sangat muda. Embun masih melekat di dedaunan padi yang terhampar di kaki bukit, entah apa namanya. Kabut dingin kaki bukit itu menggelayut tubuh ku yang terlaju dengan kecepatan 60 km/jam. Tidak begitu cepat, sebenarnya, tapi hembusan angin pagi itu cukup membuat tangan, kaki, leher dan perutku merasakan tusukan-tusukan yang luar biasa.
Lampu motor masih menyala menyinari jalanan yang tidak seberapa lebar. Suara jangkrik menambah syahdu alunan deru motorku yang beradu dengan dua motor di depan ku. Sambil menikmati dinginnya pagi ini, aku tolehkan wajah ke arah bukit itu. Bukit yang tidak asing bagiku. Bukit itu, tidak seberapa tinggi dibanding sebuah gunung, tapi yang tertinggi diantara bukit-bukit lain di wilayah itu.
Lebih dari setahun yang lalu. aku merasa tertantang oleh diriku sendiri. Kebiasaanku bekerja lembur membuatku harus merasakan dinginnya ranjang rumah sakit untuk empat hari lamanya. Sepi, tapi terasa menyesakkan, karena aku memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan. Pikiranku selalu melayang ke utara, dimana seharusnya aku sedang berjibaku dengan waktu dan kewajiban-kewajibanku. Tapi tidak tubuhku, ternyata dia harus tergolek di ranjang itu. Sepi…
Sesegera aku keluar dari tempat itu, aku dapati sebuah surat. Tidak panjang, hanya pesan agar aku menuju ke suatu tempat, entah bagaimana caraku sampai ke tempat itu, aku hanya ingat beradu mulut dengan sopir bis yang ku tumpangi tentang berapa ongkos yang harus aku bayar. Aku masih ingat seniorku sempat bertanya, “benar kamu mau melakukan ini? Kamu kan baru saja keluar dari rumah sakit?” ya, aku sangat sadar. Bahkan aku sadar bahwa aku sakit juga karena kecapaian dan aku tidak boleh kecapaian lagi dalam waktu enam bulan, atau penyakitku ini akan kambuh lagi. Aku sadar betul hal itu, bahkan aku tidak mengatakan yang sebenarnya pada orang tua ku. Jelas, mereka tidak akan membiarkanku pergi.
Semua hal itu sudah kukubur dalam-dalam. Aku segera menyusul temanku yang sudah menaiki bukit itu. Satu-satu. Tidak boleh saling menyapa, apalagi tolong-menolong. Awalnya, aku anggap tracking saja. Lumayan landai dan menyenangkan. Seperti berjalan-jalan di ladang. Aku masih melihat seorang penebang pohon mulai menyalakan gergaji mesinnya. Lama kelamaan jalanan semakin naik. Lantas, tak ada lagi yang secara wajar aku sebut sebagai jalan itu. Petunjuk ku hanya satu, selama masih melihat pohon yang lebih tinggi, maka naiklah. Jadi, aku naik dengan cara bergelantungan diantara pepohonan yang sungguh tidak aku sadari sebelumnya bahwa kebanyakan dari pohon-pohon di sana adalah pohon bambu yang tentunya berduri. Merasa kesakitan dan kelelahan, aku baringkan tubuhku di antara pepohonan yang agak datar. Di atas daun-daun besar, aku pejamkan mata. Tak tahan, ku lihat kedua telapak tanganku. Merah-hitam, perpaduan duri dan darah. Aku basuh dengan daun yang berembun. Luar biasa rasanya. Lalu aku cabut satu demi satu duri-duri halus itu.
Aku lepas sepatu sportku yang baru aku pakai itu. Aku pandangi warna dan bentuknya. Seharusnya warnanya merah, cantik sekali. Tapi sekarang, coklat dengan sol yang terbuka. Aku gerakan kaki ku agar mendapat angin. Sejuk… aku pejamkan mata. Sebentar, ku dengar sesuatu bergerak.. srek…srek.. jantung ku tak lagi bisa ku kuasai. Aku tahu ular itu mencari makan. Cukup kecil, tapi jika dia merasa aku mengganggunya, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku diam. Mencoba tak bernafas. Sedikit ilmu yang ku ketahui, ular sensitif pada suara dan hawa.
Sesegera dia pergi, ku pakai lagi sepatu ku yang sudah tidak berbentuk. Aku berdiri, melihat sekeliling. Dataran yang aku injak ini mungkin hanya selebar dua meter, agak bundar. Untuk ke atas, aku harus meraih sebuah akar pohon yang lumayan besar di atas sana. Ku cengkeram akar itu, tak dapat ku tahan teriakanku. Sungguh sakit sekali tanganku. Ku dengar suara di jauh sana. Aku lihat teman lain dia sedang berusaha naik juga. Aku berusaha memalingkan muka. Aku tidak boleh melihatnya. Akhirnya, sekali lagi ku cengkeram lagi akar pohon itu dan aku terjatuh. Lebih dalam dari tempatku yang semula. Aku terguling di antara dedaunan yang jatuh. Terantuk entah apa. Kepalaku sakit. Aku menangis…
Aku menyesali diriku. Aku bertanya, apa yang aku lakukan di sini? Terbayang wajah orang tua ku saat menunggui ku di rumah sakit, kakak-kakakku, teman-teman yang menjengukku, dan tentunya tanggung jawab ku yang ku tinggalkan. Aku menangis. Mengadu pada Yang Kuasa. Siapa aku sampai disini? Mengapa aku? Lantas, sebuah pemikiran yang sangat menyayat hatiku, saat aku berpikir, “yang harus aku lakukan saat ini hanyalah naik ke atas. Mengambil sesuatu, mengerjakannya, lantas turun lagi ke bawah. Hanya itu. Bukan suatu hal yang sulit. Setidaknya, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan dan apa yang akan aku alami. Bukankah ini lebih mudah daripada apa yang harus aku lakukan dengan tanggung jawab ku di sana? Di sana, aku bahkan sering tidak tahu sedang menghadapi apa. Jadi, jika untuk terus naik ke puncak pohon tertinggi saja aku tidak bisa, maka aku tidak pantas mendapat tanggung jawab ku semua itu.”
Aku menangis. Menangisi diriku. Di saat itu, seperti ada sebuah jendela. Diantara daun-daun rimbun, dapat ku lihat desa di bawah sana. Petani bergerombol menggarap sawahnya. Ku pandang langit, cerah sekali. Suara burung, entah dari mana. Lalu daun-daun yang terinjak. Aku palingkan muka, aku lihat seorang lagi temanku berusaha naik. Aku pasti bisa.
Dan, man jadda wa jadda. Aku berusaha menghilangkan rasa sakit, lelah, dan sedih ku. Aku terus naik. Ku paksa kaki ini naik. Naik. Dan terus naik. Hingga aku lihat pohon tertinggi itu. Haru. Aku duduk sambil mengerjakan apa yang harus aku kerjakan di atas sana. Lalu aku turun. Aku tahu aku sudah terlalu lama membuang waktu. Aku harus turun secepat mungkin. Aku putuskan untuk menjatuhkan diriku ke jurang. Agak sakit, tapi aku lakukan lagi. Sampai aku terjatuh di sebuah sungai kecil yang sangat jernih. Dingin… nikmat sekali.
Dan aku sudah berada di bawah, aku susuri sawah. Pematangnya tidak terlalu lebar. Aku berusaha berjalan secepat mungkin menuju base camp, sampai aku merasa kakiku di cengkeram. Akh!! Aku berteriak, kaki ku yang kram itu terjerembab ke pematang sawah yang rusak. Ibu-ibu tani yang melihatku segera menolongku dan membersihkan diriku di sebuah sungai. Betapa aku sangat terharu ketika seorang ibu menyucikan sepatuku sambil bercerita tentang anaknya yang seusia aku dan sedang kuliah di luar kota. Dia berkata, “ saya hanya berharap jika anak saya di sana mengalami kesulitan juga akan dibantu orang.” Sederhana, tapi cukup untuk membuatku tertegun.
Lamunanku terhenti saat jalanan menikung cukup tajam. Aku pandangi bukit yang sudah mulai menjauh itu. Di depan sana, aku lihat gunung merapi. Kokoh sekali dia. Aku tersenyum. “Hidup ini seperti permainan, dek.” “ora ana nas e ya mbak? aku capek. Ruhi mungkin ada, tapi fisikku ga bisa dipaksain mbak. Aku pengen istirahat.” tanyaku. “nas e mengko, neng suargo.” Terdengar lagi obrolanku dengan seorang senior kemarin sore. Aku tarik gas motorku lebih kencang, menyusul dua motor di depanku yang sudah menjauh. Pagi ini, aku kembali ke jogja untuk segera melanjutkan pekerjaanku yang lain. Memang, tidak ada ‘nas’.
Imogiri, 15 Maret ’09

Rabu, 28 Januari 2009

ikhlas&angkuh

aku masih terngiang kalimat itu. Aku yang berkata. Aku berkata pada diriku sendiri.
“Kamu sudah dewasa. Hidup itu selalu tentang pilihan. Sebagai seorang yang dewasa, kamu harus memilih sendiri apa yang akan kamu lakukan. Dan pilihan itu harus kamu pertanggungjawabkan.”
Ya, ini pilihanku. Aku sudah memilih. Memilih sesuatu yang harus aku jalani.
Harus.
Yah, kau benar, rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Apalagi jika kau yang memberikan pupuknya…
Kau tau kan maksudku.
Kali ini, aku benar-benar belajar makna ikhlas.
Ikhlas.
Berat sekali…
Mungkin aku belum ikhlas…
Memang aku belum ikhlas.
Aku kembali terdiam. Kau kembali memandangku. Seperti mencoba membaca pikiranku.
Ah, kau ini ada-ada saja. Kau selalu bilang bahwa kau bisa membaca pikiranku. Memangnya menurutmu aku sekarang sedang memikirkan apa?
“Hidup itu seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Percayalah.” Katamu.
Mengapa kau berkata seperti itu? Kau mendoakan sesuatu yang buruk padaku, hah?
Katamu kau cinta padaku.
Katamu kau selalu berharap yang baik untukku. Untuk kita.
Ah, aku katakan lagi. Belum tentu kita akan bersama.
“Kau ini sombong sekali.” Sahutmu.
Yah, seperti yang kau tahu. Aku memang angkuh. Itu sebabnya sampai sekarang kau belum juga bisa benar-benar mendapatkanku. Aku terlalu angkuh, bahkan padamu.
Maafkan aku ya. Aku selalu datang padamu hanya ketika aku merasa sakit, sedih, kecewa, marah.
Seperti saat ini.
Aku benar-benar jengah dengan diriku sendiri.
Mengapa kau selalu tersenyum seperti itu padaku?
Ya, aku ingat katamu dahulu, “senyummu itu bisa memberi semangat orang yang melihatnya.”
Dan, kau selalu mencoba menguatkanku dengan senyumanmu.
Pasti bagimu sama saja, kemungkinannya bagiku dan bagimu. Tapi tidak cukup, ternyata bagiku.
Tidak bisa. Senyummu itu tidak cukup bisa menghilangkan jengahku saat ini.
Kau tahu, aku marah sekali. Aku sangat kecewa.
Mengapa aku sekarang melakukan hal ini dan memberikan hal lain kepada orang lain yang ternyata sekarang dia menjadi penghalang bagiku.
Perih sekali, kau tahu?
Aku benar-benar kecewa.
Ya, aku paham. Aku paham.
Aku sangat paham.
Aku yang dulu berkata dan aku selalu percaya.
“manusia itu selalu menginginkan sesuatu yang bisa saja bukan yang terbaik baginya. Dan Tuhan pasti menghindarkan sesuatu yang bukan untukmu meski kau berusaha meraihnya sekeras hati. Dan jika Tuhan menghendaki, tanpa kau bergerak sedikitpun, Dia akan mendatangkannya padamu.”
Tapi, hei, bagaimana jika sesuatu yang sudah datang padamu malah kau buang?
“Jalani saja apa yang harus kau jalani saat ini. Semua ada waktunya.” Katamu. “Bukan yang terbaik, tapi yang pas.”
Ah, aku merasa tidak adil.
Tidak adil bagiku.
Bagi usaha kerasku.
Pamrihku.
Mengapa harus ada pamrih.
Mengapa sulit sekali merasa ikhlas.
Kau tahu, aku pun tidak menginginkanmu karena pamrihku.
Aku merasa bahwa aku melakukan terlalu banyak dan aku pantas mendapat lebih. Lebih darimu.
Mengapa harus kamu?
Kau toh akhirnya akan membatasiku.
Membatasi semua gerakku.
Ya, aku sudah antipati kepadamu.
Aku tahu siapa kamu.
Meskipun kau begitu mencintaiku.
Aku tidak mau kau posisikan seperti itu.
Meski kau sudah tahu, mengapa kau tetap mencintaiku?
Mengapa kau tetap mau menjadi pelampiasku saat aku marah?
Saat aku kecewa. Saat aku jengah.
Mengapa kau selalu memberikan dirimu saat aku terjatuh?
Kau toh tahu aku tidak mencintaimu.
Aku hanya ingin melepaskan bebanku, dan mengapa kau selalu ingin membantuku?
Bahkan tanpa aku minta?
Kau tahu, itu sangat memberatkan aku.
Kamu jahat!
Kamu tidak memberiku pilihan.
Jangan-jangan kau pula yang memposisikan aku saat ini di sini agar aku tidak bisa meraih yang lebih? Yang sebenarnya aku inginkan?
Ah, aku selalu berpikiran buruk padamu, maafkan aku.
“aku hanya ingin yang terbaik bagimu.” Jawabmu, tetap dengan senyummu itu.
Kau ini menyebalkan sekali.
Kau tahu sendiri, potensi ku sangat besar. Aku tidak mau berhenti disini.
Ya, aku tahu.
Sekarang bukan saatnya lagi mencari, tapi memberi.
Ah, apa kau tahu, aku tidak bisa menjadi seperti itu.
Itu bukan diriku.
Aku sebal sekali kemarin orang-orang itu memintaku berubah.
Berubah seperti itu, aku tidak mau.
Itu bukan diriku.
Ya. Aku paham, sangat paham.
Aku ulangi lagi agar kau yakin. Aku sangat paham.
Itu tanggung jawabku karena merupakan pilihanku.
“bagaimana bisa kau kecewa dengan yang kau lakukan. Itu kan pilihanmu.”
Ya, benar. Kau benar.
Sangat benar.
Hanya saja, aku ulangi lagi.
Ikhlas itu berat sekali.
Setidaknya, bagiku. Aku merasa sangat berat untuk merasa ikhlas.
Ah, sudahlah.
Aku memang harus menjalani ini semua.
Aku pasti bisa melewatinya.
Aku pasti bisa.
Kau akan melihatnya nanti.
Akulah yang menjalani hidupku.
Aku.
Bukan kamu.

Rabu, 05 November 2008

aku dan hujan

Aku dan Hujan
Dia masih mengejarku. Terengah aku berlari sekuat tenaga. Aku tak palingkan mata, aku tahu dia di belakang, mengejarku.
Entah berapa lama hingga ia menerkamku. Kabur pendanganku, ia telah melumpuhkanku. Aku menyerah. Terdiam. Menggigil. Ia berteriak dan menghujamku. Seluruh tubuhku tak lepas dari tikamannya. Aku pasrah. Ku lepas semua pelindungku. Sebisa ku tatap sekeliling. Aku tak lagi mengenali ini semua. Buram... dan dibalik tabir kelabu, samar kulihat ia melumpuhkan yang lain. Tapi mereka tetap anggun. Hanya berderak, bernyanyi, bahkan mereka tampak segar. Sangat bahagia. Dan aku, semakin lumpuh. Aku merasa kerdil. Ia menang atas ku.
Ku biarkan dia bermain dengan tubuhku yang tak lagi ada daya. Dan mereka, disekelilingku tertawa bahagia. Mereka menertawakanku, mencemoohku, yang dipecundanginya habis-habisan. Detik demi detik sayatnya mengiris tubuhku. Dan mereka memujanya. Tidak hanya itu, mereka ingin mengikutinya. Aku lihat mereka menujuku. Sinar terang itu kencang meluncur kearahku. Aku tenang, aku pasrah. Jika memang sudah harus berakhir, aku rela. Aku coba tawakal. Sinar itu semakin dekat. Aku tahu dimana aku berada. Penghujungku. Mungkin, entahlah...
Tapi tidak, ternyata...
Dia melemparku. Aku terjatuh. Dan, sinar itu pecah. Bias... indah sekali. Lalu semua tampak terang benderang. Dia tersenyum padaku, lantas berlalu.
Terengah ku coba kuasai diri. Masih nampak sisa-sisa keberingasannya padaku. Aku bersyukur, aku masih ada. Aku berdiri, berjalan terseok. Mereka yang tadi mencemoohku kini menatapku nanar. Tapi ku lihat mereka tetap anggun. Berderet di sisi-sisi jalanku. Aku iri pada mereka. Sungguh, betapa kuatnya mereka dibanding aku yang tanpa daya, ternyata.
Musnah kesombonganku. Keangkuhanku.
Untuk sementara.
Aku telah melupakannya. Angkuhku datang lagi. Aku duduk di teras. Bekerja. Mencermati berkas demi berkas. Aku kemukakan ide-ide dan pemikiranku pada sosok-sosok di sekelilingku. Mereka memandang kagum padaku. Mereka memujaku. Dan aku semakin angkuh. Sejenak ku nikmati kerasku. Hingga ia datang lagi. Aku gugup, gemetar. Siapa yang mengundangnya? Sinar itu datang bersamanya, seperti hendak menjemputku.
Sosok-sosok disekelilingku mencoba melindungiku. Tapi tidak diriku. Langkahku tertuju padanya. Aku tinggalkan mereka dan segala kehangatan di teras itu menuju dia. Dia tersenyum. Menggandengku, kali ini. Dia lembut mengusap wajahku, lantas sekujur tubuhku. Aku menikmatinya. Segar kurasa basuhannya. Kini aku mengerti mengapa mereka dulu tetap anggun meski terengkuh olehnya.
Ia menuntun langkahku. Kami berjalan, tertawa, bahagia. Aku lihat mereka menyapaku, tak lagi mencemooh. Aku tersenyum pada mereka. Kami berjalan bersama. Berderak... bernyanyi... Lalu dia pergi lagi. Meninggalkanku dengan sisa-sisa basuhannya. Aku ingin protes, tapi terdiam. Mengapa ia meninggalkanku tiba-tiba? Dia, seenaknya saja datang dan pergi tanpa menghiraukanku.
Hingga malam, aku terus mencarinya. Sudah larut rupanya. Jalanan telah sepi, tak ku rasa keberadaanya. Tiba-tiba saja aku ingin berontak. Aku memanggilnya, teriak dan dia datang. Kali ini lebih lembut dari sebelumnya. Kegarangannya hilang. Hanya sebentar ia sapa ku, lantas menghilang. Hanya sebentar. Tak kurasa bekas sapuan lembutnya.
Siangnya aku kembali dengan pekerjaanku. Di balik dinding kaca, ku dengar ia memanggilku. Keras ia teriak. Aku tersenyum padanya. Aku menuju jendela besar yang memisahkanku darinya. Ia ingin menggapaiku. Belum sempat ku lepas tabir diantara kami, sosok-sosok di sekelilingku menghalanginya. Mereka menahanku di sini. Dan dia, tetap berada di luar sana. Tak ku hiraukan lagi dia.
(Jogja Selatan, 6 November 2008)

Minggu, 26 Oktober 2008

angin malam

Malam semakin larut. Ini sudah diluar kebiasaan beradab ku. Tapi aku ragu. Entah mengapa. Perasaan malu dan sungkan membungkah di sekujur tubuhku. Sebelumnya, dia telah kembali. Dia datang lagi pada ku. Entah setelah berapa lama dia menghilang.

Aku tak berani menatap apa pun di balik gerbang mewah itu. Bahkan sempurnanya rembulan di ujung pucuk-pucuk pohon bambu yang riuh tertiup angin di pojokan jalan justru menuntun langkahku ke sana. Aku tidak bisa berpikir. Aku paksakan otakku yang lumayan cerdas ini untuk mengambil sikap. Aku tahu, sebentar lagi dia akan menjemputku. Aku tidak bisa pulang, tepatnya, aku tidak mau pulang. Bisa saja, sebenarnya. Tapi aku sudah memutuskan untuk melewati malam di tempat ini.

Dia datang dengan gaya nya yang khas. Dia hendak menabrakku. Aku tidak takut, hanya sedikit rasa rindu atas sikapnya yang sudah lama tidak dia tujukan pada ku itu. Orang awam, mungkin sudah menjerit histeris, seperti yang dahulu ku lakukan saat pertama dia melakukan hal itu.

Tanpa diminta, aku mengikutinya masuk. Perasaan ragu masih ada di hati ku. Aku hanya menguatkan diri. Ini pilihan ku. Aku tidak bisa kembali, setidaknya, bukan sekarang. Saat melihat kebimbanganku, dia berkata bahwa dia telah menyiapkan segalanya. Entah, aku percaya saja padanya.

Malam itu aku mendapat ledakan kontemplasi pemikiran yang luar biasa. Selesai menjelang tengah malam. Aku hanya berbaring di tempat yang telah ia siapkan dengan sempurna itu. Aku tahu, dia memang sangat perfeksionis. Dan dia melakukannya untukku. Suara jangkrik, aku tahu itu. Mereka ada diluar sana beradu dengan syahdunya angin yang menerpa pucuk-pucuk daun bambu. Suara itu, indah sekali. Aku tidak biasa mendengarnya, sehingga pendengaranku disita mendengarkan konser akbar mereka.

Tidak hanya pendengaranku yang tersita. Mata ku pun tersita. Aku tidak bisa memejamkannya. Meski perih aku rasakan. Sepertinya dia telah bengkak karena menahan kantuk. Tetapi aku tidak mengantuk. Ini karena otakku pun tersita. Aku mengalami de javu. Bukan, lebih dari itu. Ada yang membuka nurani ku. Sunyi... hanya suara jangkrik yang beradu angin di pucuk bambu itu yang setia menemaniku.

Aku tidak tahu kapan aku tertidur, tapi begitu bangun, aku merasa pusing yang amat sangat. Dia membangunkanku. Ya, aku disini. Tempat yang tidak biasanya aku datangi. Tempat yang mungkin tidak seharusnya aku datangi. Tapi aku bahagia. Dan dia mengatakannya, “Ini malam terindahmu kan?” hati dan otak ku membenarkannya, tapi tidak lisanku. Aku hanya tersenyum.

Dia mengantarku keluar. Aku bisa melihat tempat ini dengan lebih jelas. Disini lah aku semalam. Ah, akankah aku mendatangi tempat ini lagi... dia meminta maaf atas hal yang tidak mengenakkanku. Tidak biasanya dia melakukan hal seperti itu. Sepertinya dia benar-benar menyesal. Hey, bukankah aku yang sudah kurang ajar? Kenapa dia yang meminta maaf dengan segala penyesalan? Aku tidak suka melihatnya seperti ini. Tapi aku sudah terbiasa dengan nya. Aku tahu cara membahagiakannya kembali. Selesai dia dengan penyesalannya, aku menatapnya dan tersenyum. Aku berkata, “Spreinya harum”