Rabu, 05 November 2008

aku dan hujan

Aku dan Hujan
Dia masih mengejarku. Terengah aku berlari sekuat tenaga. Aku tak palingkan mata, aku tahu dia di belakang, mengejarku.
Entah berapa lama hingga ia menerkamku. Kabur pendanganku, ia telah melumpuhkanku. Aku menyerah. Terdiam. Menggigil. Ia berteriak dan menghujamku. Seluruh tubuhku tak lepas dari tikamannya. Aku pasrah. Ku lepas semua pelindungku. Sebisa ku tatap sekeliling. Aku tak lagi mengenali ini semua. Buram... dan dibalik tabir kelabu, samar kulihat ia melumpuhkan yang lain. Tapi mereka tetap anggun. Hanya berderak, bernyanyi, bahkan mereka tampak segar. Sangat bahagia. Dan aku, semakin lumpuh. Aku merasa kerdil. Ia menang atas ku.
Ku biarkan dia bermain dengan tubuhku yang tak lagi ada daya. Dan mereka, disekelilingku tertawa bahagia. Mereka menertawakanku, mencemoohku, yang dipecundanginya habis-habisan. Detik demi detik sayatnya mengiris tubuhku. Dan mereka memujanya. Tidak hanya itu, mereka ingin mengikutinya. Aku lihat mereka menujuku. Sinar terang itu kencang meluncur kearahku. Aku tenang, aku pasrah. Jika memang sudah harus berakhir, aku rela. Aku coba tawakal. Sinar itu semakin dekat. Aku tahu dimana aku berada. Penghujungku. Mungkin, entahlah...
Tapi tidak, ternyata...
Dia melemparku. Aku terjatuh. Dan, sinar itu pecah. Bias... indah sekali. Lalu semua tampak terang benderang. Dia tersenyum padaku, lantas berlalu.
Terengah ku coba kuasai diri. Masih nampak sisa-sisa keberingasannya padaku. Aku bersyukur, aku masih ada. Aku berdiri, berjalan terseok. Mereka yang tadi mencemoohku kini menatapku nanar. Tapi ku lihat mereka tetap anggun. Berderet di sisi-sisi jalanku. Aku iri pada mereka. Sungguh, betapa kuatnya mereka dibanding aku yang tanpa daya, ternyata.
Musnah kesombonganku. Keangkuhanku.
Untuk sementara.
Aku telah melupakannya. Angkuhku datang lagi. Aku duduk di teras. Bekerja. Mencermati berkas demi berkas. Aku kemukakan ide-ide dan pemikiranku pada sosok-sosok di sekelilingku. Mereka memandang kagum padaku. Mereka memujaku. Dan aku semakin angkuh. Sejenak ku nikmati kerasku. Hingga ia datang lagi. Aku gugup, gemetar. Siapa yang mengundangnya? Sinar itu datang bersamanya, seperti hendak menjemputku.
Sosok-sosok disekelilingku mencoba melindungiku. Tapi tidak diriku. Langkahku tertuju padanya. Aku tinggalkan mereka dan segala kehangatan di teras itu menuju dia. Dia tersenyum. Menggandengku, kali ini. Dia lembut mengusap wajahku, lantas sekujur tubuhku. Aku menikmatinya. Segar kurasa basuhannya. Kini aku mengerti mengapa mereka dulu tetap anggun meski terengkuh olehnya.
Ia menuntun langkahku. Kami berjalan, tertawa, bahagia. Aku lihat mereka menyapaku, tak lagi mencemooh. Aku tersenyum pada mereka. Kami berjalan bersama. Berderak... bernyanyi... Lalu dia pergi lagi. Meninggalkanku dengan sisa-sisa basuhannya. Aku ingin protes, tapi terdiam. Mengapa ia meninggalkanku tiba-tiba? Dia, seenaknya saja datang dan pergi tanpa menghiraukanku.
Hingga malam, aku terus mencarinya. Sudah larut rupanya. Jalanan telah sepi, tak ku rasa keberadaanya. Tiba-tiba saja aku ingin berontak. Aku memanggilnya, teriak dan dia datang. Kali ini lebih lembut dari sebelumnya. Kegarangannya hilang. Hanya sebentar ia sapa ku, lantas menghilang. Hanya sebentar. Tak kurasa bekas sapuan lembutnya.
Siangnya aku kembali dengan pekerjaanku. Di balik dinding kaca, ku dengar ia memanggilku. Keras ia teriak. Aku tersenyum padanya. Aku menuju jendela besar yang memisahkanku darinya. Ia ingin menggapaiku. Belum sempat ku lepas tabir diantara kami, sosok-sosok di sekelilingku menghalanginya. Mereka menahanku di sini. Dan dia, tetap berada di luar sana. Tak ku hiraukan lagi dia.
(Jogja Selatan, 6 November 2008)

Minggu, 26 Oktober 2008

angin malam

Malam semakin larut. Ini sudah diluar kebiasaan beradab ku. Tapi aku ragu. Entah mengapa. Perasaan malu dan sungkan membungkah di sekujur tubuhku. Sebelumnya, dia telah kembali. Dia datang lagi pada ku. Entah setelah berapa lama dia menghilang.

Aku tak berani menatap apa pun di balik gerbang mewah itu. Bahkan sempurnanya rembulan di ujung pucuk-pucuk pohon bambu yang riuh tertiup angin di pojokan jalan justru menuntun langkahku ke sana. Aku tidak bisa berpikir. Aku paksakan otakku yang lumayan cerdas ini untuk mengambil sikap. Aku tahu, sebentar lagi dia akan menjemputku. Aku tidak bisa pulang, tepatnya, aku tidak mau pulang. Bisa saja, sebenarnya. Tapi aku sudah memutuskan untuk melewati malam di tempat ini.

Dia datang dengan gaya nya yang khas. Dia hendak menabrakku. Aku tidak takut, hanya sedikit rasa rindu atas sikapnya yang sudah lama tidak dia tujukan pada ku itu. Orang awam, mungkin sudah menjerit histeris, seperti yang dahulu ku lakukan saat pertama dia melakukan hal itu.

Tanpa diminta, aku mengikutinya masuk. Perasaan ragu masih ada di hati ku. Aku hanya menguatkan diri. Ini pilihan ku. Aku tidak bisa kembali, setidaknya, bukan sekarang. Saat melihat kebimbanganku, dia berkata bahwa dia telah menyiapkan segalanya. Entah, aku percaya saja padanya.

Malam itu aku mendapat ledakan kontemplasi pemikiran yang luar biasa. Selesai menjelang tengah malam. Aku hanya berbaring di tempat yang telah ia siapkan dengan sempurna itu. Aku tahu, dia memang sangat perfeksionis. Dan dia melakukannya untukku. Suara jangkrik, aku tahu itu. Mereka ada diluar sana beradu dengan syahdunya angin yang menerpa pucuk-pucuk daun bambu. Suara itu, indah sekali. Aku tidak biasa mendengarnya, sehingga pendengaranku disita mendengarkan konser akbar mereka.

Tidak hanya pendengaranku yang tersita. Mata ku pun tersita. Aku tidak bisa memejamkannya. Meski perih aku rasakan. Sepertinya dia telah bengkak karena menahan kantuk. Tetapi aku tidak mengantuk. Ini karena otakku pun tersita. Aku mengalami de javu. Bukan, lebih dari itu. Ada yang membuka nurani ku. Sunyi... hanya suara jangkrik yang beradu angin di pucuk bambu itu yang setia menemaniku.

Aku tidak tahu kapan aku tertidur, tapi begitu bangun, aku merasa pusing yang amat sangat. Dia membangunkanku. Ya, aku disini. Tempat yang tidak biasanya aku datangi. Tempat yang mungkin tidak seharusnya aku datangi. Tapi aku bahagia. Dan dia mengatakannya, “Ini malam terindahmu kan?” hati dan otak ku membenarkannya, tapi tidak lisanku. Aku hanya tersenyum.

Dia mengantarku keluar. Aku bisa melihat tempat ini dengan lebih jelas. Disini lah aku semalam. Ah, akankah aku mendatangi tempat ini lagi... dia meminta maaf atas hal yang tidak mengenakkanku. Tidak biasanya dia melakukan hal seperti itu. Sepertinya dia benar-benar menyesal. Hey, bukankah aku yang sudah kurang ajar? Kenapa dia yang meminta maaf dengan segala penyesalan? Aku tidak suka melihatnya seperti ini. Tapi aku sudah terbiasa dengan nya. Aku tahu cara membahagiakannya kembali. Selesai dia dengan penyesalannya, aku menatapnya dan tersenyum. Aku berkata, “Spreinya harum”