Minggu, 15 Maret 2009

150309

Pagi itu masih sangat muda. Embun masih melekat di dedaunan padi yang terhampar di kaki bukit, entah apa namanya. Kabut dingin kaki bukit itu menggelayut tubuh ku yang terlaju dengan kecepatan 60 km/jam. Tidak begitu cepat, sebenarnya, tapi hembusan angin pagi itu cukup membuat tangan, kaki, leher dan perutku merasakan tusukan-tusukan yang luar biasa.
Lampu motor masih menyala menyinari jalanan yang tidak seberapa lebar. Suara jangkrik menambah syahdu alunan deru motorku yang beradu dengan dua motor di depan ku. Sambil menikmati dinginnya pagi ini, aku tolehkan wajah ke arah bukit itu. Bukit yang tidak asing bagiku. Bukit itu, tidak seberapa tinggi dibanding sebuah gunung, tapi yang tertinggi diantara bukit-bukit lain di wilayah itu.
Lebih dari setahun yang lalu. aku merasa tertantang oleh diriku sendiri. Kebiasaanku bekerja lembur membuatku harus merasakan dinginnya ranjang rumah sakit untuk empat hari lamanya. Sepi, tapi terasa menyesakkan, karena aku memikirkan apa yang seharusnya aku lakukan. Pikiranku selalu melayang ke utara, dimana seharusnya aku sedang berjibaku dengan waktu dan kewajiban-kewajibanku. Tapi tidak tubuhku, ternyata dia harus tergolek di ranjang itu. Sepi…
Sesegera aku keluar dari tempat itu, aku dapati sebuah surat. Tidak panjang, hanya pesan agar aku menuju ke suatu tempat, entah bagaimana caraku sampai ke tempat itu, aku hanya ingat beradu mulut dengan sopir bis yang ku tumpangi tentang berapa ongkos yang harus aku bayar. Aku masih ingat seniorku sempat bertanya, “benar kamu mau melakukan ini? Kamu kan baru saja keluar dari rumah sakit?” ya, aku sangat sadar. Bahkan aku sadar bahwa aku sakit juga karena kecapaian dan aku tidak boleh kecapaian lagi dalam waktu enam bulan, atau penyakitku ini akan kambuh lagi. Aku sadar betul hal itu, bahkan aku tidak mengatakan yang sebenarnya pada orang tua ku. Jelas, mereka tidak akan membiarkanku pergi.
Semua hal itu sudah kukubur dalam-dalam. Aku segera menyusul temanku yang sudah menaiki bukit itu. Satu-satu. Tidak boleh saling menyapa, apalagi tolong-menolong. Awalnya, aku anggap tracking saja. Lumayan landai dan menyenangkan. Seperti berjalan-jalan di ladang. Aku masih melihat seorang penebang pohon mulai menyalakan gergaji mesinnya. Lama kelamaan jalanan semakin naik. Lantas, tak ada lagi yang secara wajar aku sebut sebagai jalan itu. Petunjuk ku hanya satu, selama masih melihat pohon yang lebih tinggi, maka naiklah. Jadi, aku naik dengan cara bergelantungan diantara pepohonan yang sungguh tidak aku sadari sebelumnya bahwa kebanyakan dari pohon-pohon di sana adalah pohon bambu yang tentunya berduri. Merasa kesakitan dan kelelahan, aku baringkan tubuhku di antara pepohonan yang agak datar. Di atas daun-daun besar, aku pejamkan mata. Tak tahan, ku lihat kedua telapak tanganku. Merah-hitam, perpaduan duri dan darah. Aku basuh dengan daun yang berembun. Luar biasa rasanya. Lalu aku cabut satu demi satu duri-duri halus itu.
Aku lepas sepatu sportku yang baru aku pakai itu. Aku pandangi warna dan bentuknya. Seharusnya warnanya merah, cantik sekali. Tapi sekarang, coklat dengan sol yang terbuka. Aku gerakan kaki ku agar mendapat angin. Sejuk… aku pejamkan mata. Sebentar, ku dengar sesuatu bergerak.. srek…srek.. jantung ku tak lagi bisa ku kuasai. Aku tahu ular itu mencari makan. Cukup kecil, tapi jika dia merasa aku mengganggunya, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Aku diam. Mencoba tak bernafas. Sedikit ilmu yang ku ketahui, ular sensitif pada suara dan hawa.
Sesegera dia pergi, ku pakai lagi sepatu ku yang sudah tidak berbentuk. Aku berdiri, melihat sekeliling. Dataran yang aku injak ini mungkin hanya selebar dua meter, agak bundar. Untuk ke atas, aku harus meraih sebuah akar pohon yang lumayan besar di atas sana. Ku cengkeram akar itu, tak dapat ku tahan teriakanku. Sungguh sakit sekali tanganku. Ku dengar suara di jauh sana. Aku lihat teman lain dia sedang berusaha naik juga. Aku berusaha memalingkan muka. Aku tidak boleh melihatnya. Akhirnya, sekali lagi ku cengkeram lagi akar pohon itu dan aku terjatuh. Lebih dalam dari tempatku yang semula. Aku terguling di antara dedaunan yang jatuh. Terantuk entah apa. Kepalaku sakit. Aku menangis…
Aku menyesali diriku. Aku bertanya, apa yang aku lakukan di sini? Terbayang wajah orang tua ku saat menunggui ku di rumah sakit, kakak-kakakku, teman-teman yang menjengukku, dan tentunya tanggung jawab ku yang ku tinggalkan. Aku menangis. Mengadu pada Yang Kuasa. Siapa aku sampai disini? Mengapa aku? Lantas, sebuah pemikiran yang sangat menyayat hatiku, saat aku berpikir, “yang harus aku lakukan saat ini hanyalah naik ke atas. Mengambil sesuatu, mengerjakannya, lantas turun lagi ke bawah. Hanya itu. Bukan suatu hal yang sulit. Setidaknya, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan dan apa yang akan aku alami. Bukankah ini lebih mudah daripada apa yang harus aku lakukan dengan tanggung jawab ku di sana? Di sana, aku bahkan sering tidak tahu sedang menghadapi apa. Jadi, jika untuk terus naik ke puncak pohon tertinggi saja aku tidak bisa, maka aku tidak pantas mendapat tanggung jawab ku semua itu.”
Aku menangis. Menangisi diriku. Di saat itu, seperti ada sebuah jendela. Diantara daun-daun rimbun, dapat ku lihat desa di bawah sana. Petani bergerombol menggarap sawahnya. Ku pandang langit, cerah sekali. Suara burung, entah dari mana. Lalu daun-daun yang terinjak. Aku palingkan muka, aku lihat seorang lagi temanku berusaha naik. Aku pasti bisa.
Dan, man jadda wa jadda. Aku berusaha menghilangkan rasa sakit, lelah, dan sedih ku. Aku terus naik. Ku paksa kaki ini naik. Naik. Dan terus naik. Hingga aku lihat pohon tertinggi itu. Haru. Aku duduk sambil mengerjakan apa yang harus aku kerjakan di atas sana. Lalu aku turun. Aku tahu aku sudah terlalu lama membuang waktu. Aku harus turun secepat mungkin. Aku putuskan untuk menjatuhkan diriku ke jurang. Agak sakit, tapi aku lakukan lagi. Sampai aku terjatuh di sebuah sungai kecil yang sangat jernih. Dingin… nikmat sekali.
Dan aku sudah berada di bawah, aku susuri sawah. Pematangnya tidak terlalu lebar. Aku berusaha berjalan secepat mungkin menuju base camp, sampai aku merasa kakiku di cengkeram. Akh!! Aku berteriak, kaki ku yang kram itu terjerembab ke pematang sawah yang rusak. Ibu-ibu tani yang melihatku segera menolongku dan membersihkan diriku di sebuah sungai. Betapa aku sangat terharu ketika seorang ibu menyucikan sepatuku sambil bercerita tentang anaknya yang seusia aku dan sedang kuliah di luar kota. Dia berkata, “ saya hanya berharap jika anak saya di sana mengalami kesulitan juga akan dibantu orang.” Sederhana, tapi cukup untuk membuatku tertegun.
Lamunanku terhenti saat jalanan menikung cukup tajam. Aku pandangi bukit yang sudah mulai menjauh itu. Di depan sana, aku lihat gunung merapi. Kokoh sekali dia. Aku tersenyum. “Hidup ini seperti permainan, dek.” “ora ana nas e ya mbak? aku capek. Ruhi mungkin ada, tapi fisikku ga bisa dipaksain mbak. Aku pengen istirahat.” tanyaku. “nas e mengko, neng suargo.” Terdengar lagi obrolanku dengan seorang senior kemarin sore. Aku tarik gas motorku lebih kencang, menyusul dua motor di depanku yang sudah menjauh. Pagi ini, aku kembali ke jogja untuk segera melanjutkan pekerjaanku yang lain. Memang, tidak ada ‘nas’.
Imogiri, 15 Maret ’09

Tidak ada komentar: