Minggu, 26 Oktober 2008

angin malam

Malam semakin larut. Ini sudah diluar kebiasaan beradab ku. Tapi aku ragu. Entah mengapa. Perasaan malu dan sungkan membungkah di sekujur tubuhku. Sebelumnya, dia telah kembali. Dia datang lagi pada ku. Entah setelah berapa lama dia menghilang.

Aku tak berani menatap apa pun di balik gerbang mewah itu. Bahkan sempurnanya rembulan di ujung pucuk-pucuk pohon bambu yang riuh tertiup angin di pojokan jalan justru menuntun langkahku ke sana. Aku tidak bisa berpikir. Aku paksakan otakku yang lumayan cerdas ini untuk mengambil sikap. Aku tahu, sebentar lagi dia akan menjemputku. Aku tidak bisa pulang, tepatnya, aku tidak mau pulang. Bisa saja, sebenarnya. Tapi aku sudah memutuskan untuk melewati malam di tempat ini.

Dia datang dengan gaya nya yang khas. Dia hendak menabrakku. Aku tidak takut, hanya sedikit rasa rindu atas sikapnya yang sudah lama tidak dia tujukan pada ku itu. Orang awam, mungkin sudah menjerit histeris, seperti yang dahulu ku lakukan saat pertama dia melakukan hal itu.

Tanpa diminta, aku mengikutinya masuk. Perasaan ragu masih ada di hati ku. Aku hanya menguatkan diri. Ini pilihan ku. Aku tidak bisa kembali, setidaknya, bukan sekarang. Saat melihat kebimbanganku, dia berkata bahwa dia telah menyiapkan segalanya. Entah, aku percaya saja padanya.

Malam itu aku mendapat ledakan kontemplasi pemikiran yang luar biasa. Selesai menjelang tengah malam. Aku hanya berbaring di tempat yang telah ia siapkan dengan sempurna itu. Aku tahu, dia memang sangat perfeksionis. Dan dia melakukannya untukku. Suara jangkrik, aku tahu itu. Mereka ada diluar sana beradu dengan syahdunya angin yang menerpa pucuk-pucuk daun bambu. Suara itu, indah sekali. Aku tidak biasa mendengarnya, sehingga pendengaranku disita mendengarkan konser akbar mereka.

Tidak hanya pendengaranku yang tersita. Mata ku pun tersita. Aku tidak bisa memejamkannya. Meski perih aku rasakan. Sepertinya dia telah bengkak karena menahan kantuk. Tetapi aku tidak mengantuk. Ini karena otakku pun tersita. Aku mengalami de javu. Bukan, lebih dari itu. Ada yang membuka nurani ku. Sunyi... hanya suara jangkrik yang beradu angin di pucuk bambu itu yang setia menemaniku.

Aku tidak tahu kapan aku tertidur, tapi begitu bangun, aku merasa pusing yang amat sangat. Dia membangunkanku. Ya, aku disini. Tempat yang tidak biasanya aku datangi. Tempat yang mungkin tidak seharusnya aku datangi. Tapi aku bahagia. Dan dia mengatakannya, “Ini malam terindahmu kan?” hati dan otak ku membenarkannya, tapi tidak lisanku. Aku hanya tersenyum.

Dia mengantarku keluar. Aku bisa melihat tempat ini dengan lebih jelas. Disini lah aku semalam. Ah, akankah aku mendatangi tempat ini lagi... dia meminta maaf atas hal yang tidak mengenakkanku. Tidak biasanya dia melakukan hal seperti itu. Sepertinya dia benar-benar menyesal. Hey, bukankah aku yang sudah kurang ajar? Kenapa dia yang meminta maaf dengan segala penyesalan? Aku tidak suka melihatnya seperti ini. Tapi aku sudah terbiasa dengan nya. Aku tahu cara membahagiakannya kembali. Selesai dia dengan penyesalannya, aku menatapnya dan tersenyum. Aku berkata, “Spreinya harum”

Tidak ada komentar: