Rabu, 28 Januari 2009

ikhlas&angkuh

aku masih terngiang kalimat itu. Aku yang berkata. Aku berkata pada diriku sendiri.
“Kamu sudah dewasa. Hidup itu selalu tentang pilihan. Sebagai seorang yang dewasa, kamu harus memilih sendiri apa yang akan kamu lakukan. Dan pilihan itu harus kamu pertanggungjawabkan.”
Ya, ini pilihanku. Aku sudah memilih. Memilih sesuatu yang harus aku jalani.
Harus.
Yah, kau benar, rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau. Apalagi jika kau yang memberikan pupuknya…
Kau tau kan maksudku.
Kali ini, aku benar-benar belajar makna ikhlas.
Ikhlas.
Berat sekali…
Mungkin aku belum ikhlas…
Memang aku belum ikhlas.
Aku kembali terdiam. Kau kembali memandangku. Seperti mencoba membaca pikiranku.
Ah, kau ini ada-ada saja. Kau selalu bilang bahwa kau bisa membaca pikiranku. Memangnya menurutmu aku sekarang sedang memikirkan apa?
“Hidup itu seperti roda. Kadang di atas, kadang di bawah. Percayalah.” Katamu.
Mengapa kau berkata seperti itu? Kau mendoakan sesuatu yang buruk padaku, hah?
Katamu kau cinta padaku.
Katamu kau selalu berharap yang baik untukku. Untuk kita.
Ah, aku katakan lagi. Belum tentu kita akan bersama.
“Kau ini sombong sekali.” Sahutmu.
Yah, seperti yang kau tahu. Aku memang angkuh. Itu sebabnya sampai sekarang kau belum juga bisa benar-benar mendapatkanku. Aku terlalu angkuh, bahkan padamu.
Maafkan aku ya. Aku selalu datang padamu hanya ketika aku merasa sakit, sedih, kecewa, marah.
Seperti saat ini.
Aku benar-benar jengah dengan diriku sendiri.
Mengapa kau selalu tersenyum seperti itu padaku?
Ya, aku ingat katamu dahulu, “senyummu itu bisa memberi semangat orang yang melihatnya.”
Dan, kau selalu mencoba menguatkanku dengan senyumanmu.
Pasti bagimu sama saja, kemungkinannya bagiku dan bagimu. Tapi tidak cukup, ternyata bagiku.
Tidak bisa. Senyummu itu tidak cukup bisa menghilangkan jengahku saat ini.
Kau tahu, aku marah sekali. Aku sangat kecewa.
Mengapa aku sekarang melakukan hal ini dan memberikan hal lain kepada orang lain yang ternyata sekarang dia menjadi penghalang bagiku.
Perih sekali, kau tahu?
Aku benar-benar kecewa.
Ya, aku paham. Aku paham.
Aku sangat paham.
Aku yang dulu berkata dan aku selalu percaya.
“manusia itu selalu menginginkan sesuatu yang bisa saja bukan yang terbaik baginya. Dan Tuhan pasti menghindarkan sesuatu yang bukan untukmu meski kau berusaha meraihnya sekeras hati. Dan jika Tuhan menghendaki, tanpa kau bergerak sedikitpun, Dia akan mendatangkannya padamu.”
Tapi, hei, bagaimana jika sesuatu yang sudah datang padamu malah kau buang?
“Jalani saja apa yang harus kau jalani saat ini. Semua ada waktunya.” Katamu. “Bukan yang terbaik, tapi yang pas.”
Ah, aku merasa tidak adil.
Tidak adil bagiku.
Bagi usaha kerasku.
Pamrihku.
Mengapa harus ada pamrih.
Mengapa sulit sekali merasa ikhlas.
Kau tahu, aku pun tidak menginginkanmu karena pamrihku.
Aku merasa bahwa aku melakukan terlalu banyak dan aku pantas mendapat lebih. Lebih darimu.
Mengapa harus kamu?
Kau toh akhirnya akan membatasiku.
Membatasi semua gerakku.
Ya, aku sudah antipati kepadamu.
Aku tahu siapa kamu.
Meskipun kau begitu mencintaiku.
Aku tidak mau kau posisikan seperti itu.
Meski kau sudah tahu, mengapa kau tetap mencintaiku?
Mengapa kau tetap mau menjadi pelampiasku saat aku marah?
Saat aku kecewa. Saat aku jengah.
Mengapa kau selalu memberikan dirimu saat aku terjatuh?
Kau toh tahu aku tidak mencintaimu.
Aku hanya ingin melepaskan bebanku, dan mengapa kau selalu ingin membantuku?
Bahkan tanpa aku minta?
Kau tahu, itu sangat memberatkan aku.
Kamu jahat!
Kamu tidak memberiku pilihan.
Jangan-jangan kau pula yang memposisikan aku saat ini di sini agar aku tidak bisa meraih yang lebih? Yang sebenarnya aku inginkan?
Ah, aku selalu berpikiran buruk padamu, maafkan aku.
“aku hanya ingin yang terbaik bagimu.” Jawabmu, tetap dengan senyummu itu.
Kau ini menyebalkan sekali.
Kau tahu sendiri, potensi ku sangat besar. Aku tidak mau berhenti disini.
Ya, aku tahu.
Sekarang bukan saatnya lagi mencari, tapi memberi.
Ah, apa kau tahu, aku tidak bisa menjadi seperti itu.
Itu bukan diriku.
Aku sebal sekali kemarin orang-orang itu memintaku berubah.
Berubah seperti itu, aku tidak mau.
Itu bukan diriku.
Ya. Aku paham, sangat paham.
Aku ulangi lagi agar kau yakin. Aku sangat paham.
Itu tanggung jawabku karena merupakan pilihanku.
“bagaimana bisa kau kecewa dengan yang kau lakukan. Itu kan pilihanmu.”
Ya, benar. Kau benar.
Sangat benar.
Hanya saja, aku ulangi lagi.
Ikhlas itu berat sekali.
Setidaknya, bagiku. Aku merasa sangat berat untuk merasa ikhlas.
Ah, sudahlah.
Aku memang harus menjalani ini semua.
Aku pasti bisa melewatinya.
Aku pasti bisa.
Kau akan melihatnya nanti.
Akulah yang menjalani hidupku.
Aku.
Bukan kamu.